Fluttershy - Alternate Select

Kamis, 18 Januari 2018

makalah toleransi antar umat beragama



MAKALAH
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN TOLERANSI DALAM ISLAM




DISUSUN OLEH :
1.          Adi Kurniawan                       (J1D017049)
2.          Nisfa Tiara Joana                    (J1D017026)
3.          Sarah Oktaviani Parura           (J1D017005)
4.          Frepti Anggraeni S.                 (J!D017012)


PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2017

BAB I
1. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Toleransi dan kerukunan antar umat beragama merupakan salah satu faktor penting mengenai kelangsungan kehidupan yang damai tanpa ada perselisihan. Walaupun kita semua tahu, untuk menjaga kedamaian di tengah masyarakat bukanlah perkara yang mudah sehingga diperlukan peran yang nyata dari seluruh kalangan masyarakat terutama bagi umat islam. Apalagi kini umat islam di dunia sedang mendapat ujian berupa julukan teroris di beberapa negara di barat contohnya di Amerika. Megapa hal tersebut bisa terjadi ? Kurangnya toleransi antar umat beragama di Amerika merupakan faktor utamanya yang menganggap seluruh umat islam adalah seorang teroris.
1.2  Rumusan Masalah
a.      Apakah hakikat toleransi dan kerukunan ?
b.      Apakah yang dimaksud dengan tri kerukunan beragama?
c.       Bagaimana cara menumbuhkan sikap toleransi ?
d.      Apa yang akan terjadi apabila tidak ada toleransi dan kerukunan  ?

1.3  Tujuan
a.       Mengetahui apakah hakikat toleransi dan kerukunan sebenarnya.
b.      Agar tercipta kedamaian di dalam masyarakat.
c.       Menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya toleransi dan kerukunan.
d.      Mengetahui sejak dini akan bahaya apabila kita tidak memiliki sikap toleransi dan kerukunan.




1.4  Manfaat Penulisan
Menambah wawasan tentang seberapa pentingnya kerukunan dan toleransi ditengah masyarakat agar tercipta keharmonisan dan kedamaian yang kuat di masyarakat mengingat bangsa Indonesia adalah masyarakat multikultural yang memiliki banyak budaya dan agama yang berbeda-beda.


















BAB II
2. PEMBAHASAN
2.1 Apakah hakikat toleransi dan kerukunan ?
Keberagaman yang ada di Republik Indonesia merupakan Karunia Alloh SWT dan merupakan kenikmatan yang tak ternilai harganya. Keanekaragaman suku bangsa, budaya, bahsa daerah, agama/kepercayaan merupakan keunikan yang terdapat di Indonesia. Dan pada dasarnya seluruh warga Indonesia tidak mempermasalahkan perbedaan tersebut. Dan hal inilah  yang mendorong kita harus mengembangkan sikap toleransi dan kerukunan antar sesama umat muslim maupun antar umat beragama.
Toleransi secara bahasa berarti sikap atau sifat dua kelompok atau lebih yang berbeda kebudayaan tetapi saling berhubungan dengan penuh.Sedangkan rukun secara bahasa berarti baik dan damai. Rukun dan toleransi merupakan dua hal yang saling berhubungan. Untuk menciptakan suatu kerukunan di dalam masyarakat dibutuhkan toleransi yang tinggi karena masalah agama merupakan masalah yang sangat sensitif bagi warga masyarakat Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajemukan yang ada di Indonesia merupakan masalah yang rawan dan sering memicu terjadinya konflik antar kelompok masyarakat yang salah satu penyebabnya adalah masalah agama. Oleh karna itu, pada era tahun 1970-an, pemerintah mencanangkan adanya Tri Kerukunan Umat Beragama. Adapun isi dari Tri Kerukunan Umat Beragama adalah sebagai berikut:
1.      Kerukunan Antara Umat Beragama dengan Pemertintah
Seperti yang telah difirmankan Alloh SWT pada QS. An-Nisa (4) : 59
Yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rosul (Nya) ulil amri di antara kamu......”
Dari Firman Allah diatas dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa selain kita diperintahhkan untuk taat terhadap Allah SWT. Dan Rosul-Nya, kita juga harus taaat terhadap ulil amri (pemerintah)selama langkah-langkah, program, kebijakan dan sistem pemerintahhan yang diberlakukan tidak bertentangan dengan ajaran agama islam. Apabila ulil Amri tersebut bertentangan dengan ajaran agama islam maka kita dilarang untuk taat apalagi mendukungnya.
Demikian pula dengan pemerintah. Pemerintah sudah seharusnya memberikan dukungan baik moril maupun materiil terhadap kehidupan dan perkembangan kegiatan di bidang keagamaan sehoingga ada hubungan timbal balik yang harmonis antara umat islam dan pemerintah.

2.      Kerukunan intern umat seagama
Idealnya intern umat yang seagama memang harus rukun namun fakta yang terjadi di masyarakat jutru ada saja hal yang menjadi kendala terwujudnya kerukunan yang dilandasi jiwa ukhuwah (persaudaraan). Sebenarnya perbedaan pemahaan dan pengamalan adalahh suatu hal yang wajar dan manusiawi, yang penting perbedaan-perbedaan tersebut jangan sampai mengarah kerusaknya “ukhuwah islamiyah”. Allah swt. Alloh SWT memberikan petunjuk kepada hambanya :

a.       Berpegang teguh pada agama Allah (Islam)
Firman Alloh swt.  QS.Ali Imron (3): 103.
Artinya : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.......”
Begitu juga dalam hadits Rasululloh SAW bersabda yang artinya :
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling mencintai, saling berbelas kasih dan saling kasih dan saling tenggang rasa, mereka itu laksana satu tubuh, apabila salah satu anggotanya terasa sakit, maka seluruh anggota badannya ikut merasakan tidak dapat tidur dan merasakan demam panas”
                                                                                                          HR.Bukhori
b.      Allah menciptakan manusia berbeda-beda



Artinya : Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan mejadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal (Al Hujurat : 13)
c.       Manusia sebagai umat yang satu


Artinya : Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat (saja), tetai Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang dzalim tidak ada bagi mereka seorang peindung pun dan tidak pula seorang penolong (QS.As Syura : 8)
d.      Dahulu manusia sebagai umat yang satu

Artinya : Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu (Yunus : 19)

e.       Allah memberi jalan keselamatan





Artinya : “Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus” (Q.S. Al Maidah : 16 )


f.       Mengikuti jalan yang benar
Artinya : ...dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia (jalan Allah); dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.(Q.S Al An’am : 153)
g.      Mengikuti agama Fitrah




Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Q.S.Ar Rum: 30)
h.      Dilarang memecah belah umat

            Firman Allah Q.S Al An’am : 159
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.
            Berpedoman pada landasan ayat ayat tersebut, maka kerukunan internal umat islam sebenarnya telah ditekankan oleh Allah SWT. Namun karena ego, interest pribadi maupun golongan, maka yang terjadi di kalangan umat islam adalah terlalu sering muncul gesekan, ketegangan, bahkan konflik fisik antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini sering pula ditambah dan dipengaruhi oleh ambisi interest jabatan dan atau politik tertentu.
3. Kerukunan antar umat yang berbeda agama
            Bangsa Indonesia yang kondisinya sedemikian heterogen (majemuk) memang rawan terjadinya ketegangan, benturan maupun perselisihan antar kelompok yang berbeda termasuk perbedaan agama. Namun, tentu saja orang yang berakal sehat tidak menginginkan hal itu terjadi.
            Semua pemeluk suatu agama yang memiliki jiwa “misionis” (jiwa pejuang untuk berdakwah) pasti ingin agamanya bisa diterima dan dianut oleh warga masyarakat sebanyak-banyaknya. Seruan, ajakan atau berda’wah di dalam ajaran agama Islam merupakan hal yang bermakna ibadah karena memang diperintahkan, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS.Ali Imron (3) : 104.
Terjemahannya : “Dan hendaklah ada diantara kamu, satu golongan yang mengajak (manusia) kepada kebajikan, dan menyuruh (mereka berbuat) kebaikan, dan melarang (mereka) dari kejahatan. Dan mereka itu, ialah orang-orang yang mendapat kejayaan”.
            Maka dari itu, untuk mecegah terjadinya ketegangan, benturan ataupun hal-hal yang tidak diharapkan dan untuk mendukung terwujudnya kerukunan antar umat yang berbeda agama, pemerintah mengatur dengan adanya “Pedoman Penyiaran Agama di Indonesia” antara lain :
a.       Keputusan Musyawarah Paripurna Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 15 Februari 1976, tentang “Konsultasi Antar Umat Beragama”.
1)      Tidak boleh menyebarkan agama kepada mereka yang sudah beragama lain.
2)      Menyambut baik (anjuran presiden) diadakannya konsultasi antar umat beragama.
b.      Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 70/1978, tanggal 1 Agustus 1978, tentang Pedoman Penyiaran Agama.
1)      Tidak dibenarkan ditujukan kepada orang beragama lain.
2)      Tidak dibenarkan dilakukan dengan mempergunakan alat pemikat (materi/finansial).
3)      Tidak dibenarkan dilakukan dengan menyebarkan pamflet, bulletin, majalah/buku di daerah/rumah umat/orang yang beragama lain.
4)      Tidak dibenarkan dilakukan dengan keluar-masuk dari rumah orang yang telah memeluk agama lain.
c.       Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 77/1978, tanggal 15 Agustus 1978, tentang : Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
1)      Bantuan luar neger harus mendapatkan rekomendasi Menteri Agama Republik Indonesia.
2)      Tenaga asing harus mendapat izin dari Menteri Agama Republik Indonesia.
d.      Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia nomor 01/BER/MDN-MAG/1969, tanggal 13 September 1969, tentang : Pelaksanaan tugas aparatur pemerintah dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluk-pemeluknya.
1)      Kepala daerah membimbing dan mengawasi penyebaran agama dan ibadah, agar :
a)      Tidak menimbulkan perpecahan.
b)      Tidak disertai intimidasi, bujukan, paksaan/ancaman.
c)      Tidak melanggar hukum, keamanan dan ketertiban umum.
2)      Kepala Perwakilan Departemen Agama memberikan bimbingan, pengarahan dan pengawasan, agar peneranagan agama yang diberikan oleh siapapun tidak bersifat menyerang/menjelekkan agama lain.
3)      Pendirian rumah ibadah perlu mendapatkan izin dari Kepala Daerah/Pejabat Pemerintahan yang dikuasakan untuk itu.
4)      Pemberian izin setelah mempertimbangkan :
a)      Pendapat Kepala Kantor Wilayah/Perwakilan Departemen Agama setempat.
b)      Planologi/Tata kota.
c)      Situasi dan kondisi setempat.
5)      Apabila dianggap perlu, Kepala Daerah meminta pendapat dari organisasi keagamaan dan ulama/rohaniwan setempat.
e.       Keputusan Pertemuan Lengkap “Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama”, tanggal 25 Agustus 1981 di Jakarta, tentang Pelaksanaan Peringatan Hari-hari Besar Kegamaan.
Dihadiri : Wakil/Penghubung Majelis Agama, yaitu :
1)      Majelis Ulama Indonesia (MUI)
2)      Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI)
3)      Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI)
4)      Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP)
5)      Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI)
Bersepakat menyampaikan saran/rekomendasi kepada Pemerintah dalam hal ini Menteri Agama, sebagai berikut :
1)      Peringatan Hari-hari Besar Keagamaan merupakan sarana peningkatan penghayatan dan pengamalan agama dan sarana dalam pembangunan kerukunan hidup antar umat beragama.
2)      Adalah wajar bila pemeluk agama lain turut menghormati (sesuai dengan azas kekeluargaan/bertetangga baik) sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agamanya.
3)      Para pejabat pemerintah hendaknya memberikan perhatian yang wajar dan adil dalam melayani hajat keagamaan bagi semua pemeluk agama dalam wilayah kewenangannya. Kehadirannya dalam upacara keagamaan dari suatu agama yang tidak dipeluknya, hendaklah dalam sikap pasif namun hikmat.
4)      Pimpinan lembaga kemasyarakatan perlu dihimbau untuk bijaksana, sehingga tidak menimbulkan adanya kesan paksaan atau layangan dan pembaruan aqidah dan syariat (ajaran dan aturan) agama yang berbeda-beda.
f.       Surat Edaran Menteri Agama Republik Indonesia Nomor MA/432/1981, tanggal 2 September 1981, tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari-hari Besar Keagamaan, antara lain :
Peringatan Hari-hari Besar Keagamaan pada dasarnya hanya diselenggarakan dan dihadiri oleh para pemeluk agama yang bersangkutan, namum sepanjang tidak bertentangan dengan aqidah/ajaran agamanya, pemeluk agama lain dapat turut menghormati sesuai dengan azas kekeluargaan bertetangga yang baik.
1)      Unsur peribadatan ialah :
-          “Ibadah” bagi Islam.
-          “Kebangkitan/liturgia” bagi Kristen/Katholik.
-          “Yadnya” bagi Hindu.
-          “Kebangkitan” bagi Budha.
Yang dalam peringatan/perayaan tersebut merupakan bentuk ajaran agama, yang sepenuhnya menjadi kewenangan pimpinan/pemuka agama yang bersangkutan untuk mengaturnya sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing.
2)      Unsur perayaan yang di dalamnya tidak ada unsur ibadah (seperti yang dimaksudkan di atas) dapat dihadiri dan diikuti oleh pemeluk agama lain.
3)      Peribadatan ialah :
-          “Ibadah” bagi Islam.
-          “Kebangkitan/liturgia” bagi Kristen/Katholik.
Prinsip ajaran Islam di dalam menjaga kerukunan dengan umat agama lain adalah “tasamuh” (lapang dada) dan berpedoman pada QS. Al-Kafirun terutama ayat : 6.



              Artinya : “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku”. (Q.S. Al-Kafirun : 6)
4. Masalah Jihad
a.      Makna Jihad
Kata jihad berasal dari bahasa Arab, yakni : jahada-yajhadu-jihadan. Kata jihad secara bahasa berarti “Berusaha dengan sungguh-sungguh”. Demikian menurut AL Munawwir (1984:234). Dalam konteks Islam Jihad berarti “Berjuang menegakkan syari’at Islam”. Dalam berjuang seseorang dapat melakukannya dengan mengendalikan hal-hal yang dilarang Allah SWT, dan atau berjuang untuk menjalankan segala perintah-Nya dengan sekuat tenaga.
Kecuali pengertian di atas, jihad juga sering diartikan sebagai Perang Suci, sementara dalam Islam sendiri dilarang untuk memulai suatu peperangan, kecuali bila sudah tidak dapat dielakkan, atau memang bisa dipertanggung jawabkan secara agama (seperti : untuk membela diri, atau karena diserang terlebih dahulu). “Perang Suci” bila diterjemahkan dalam bahasa Arab adalah : “harbun muqaddasatu” (atau “al-harbu al-muqaddasatu”). Tidak ada dalam Al-Qur’an atau kumpulan Hadits (asli) yang mengartikan kata “jihad” sebagai “Perang Suci”, melainkan “perjuangan” atau “berusaha keras”. Oleh karena itu sangat disayangkan, bahwa banyak penulis Islam yang terpengaruh atas propaganda penterjemah barat yang mengartikan jihad sebagai “Perang Suci”. Bisa saja dalam literatur Barat mereka salah mengartikan jihad sebagai suatu bentuk seacam “Perang Salib” dalam sejarah Nasrani. Dengan demikian jihad bukan ber-konotasi “Perang”. Sebab perang dalam bahasa Arab adalah : “HARB” atau “QITAL”.
            Bagi Muslim jihad berarti “perjuangan” atau “berusaha dengan keras”. Kemudian kata tersebut ditransformasi sebagai kata yang mempunyai makna atau arti khusus, yaitu : “membela agama”. Hal ini seperti yang dituturkam Al Qur’an sebagai berikut :
Artinya : “Maka berperanglah (qatil) kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mu’min (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaaan(Nya)” (Q.S. An Nisa : 84)
Kemudian dalam ayat yang lain disebutkan :
                                                     
Artinya : “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (Q.S. Al Mumtahanah: 9).
            Dengan demikian jelas, bahwa “jihad” merupakan kata kerja “berjuang”. Hal ini tergantung dari arah atau sifat “perjuangan”-nya, yaitu : “di-jalan-Nya”, jalan kebenaran membela ajaran Allah”. Sebab bisa saja “ber-jihad” membela negara. Seandainya “jihad” berarti “Perang Suci”, maka kiranya cukup disebutkan “ber-jihad”, tanpa “di jalan-Nya”.
            Dalam perjalanan sejarah perjuangan Islam makna “Jihad” adalah “berjuang” atau “ber-usaha dengan keras”, namun tidak harus berarti “perang dalam makna “fisik”. Kalau sekarang jihad telah sering diartikan sebagai “perjuangan untuk agama”, memang bisa saja dibenarkan, walaupun tidak harus berarti perjuangan fisik. Bila mengartikan Jihad hanya sebagai peperangan fisik, dan extern, untuk membela agama bisa sangat berbahaya, sebab akan mudah dimanfaatkan, dan rentan terhadap fitnah. Sebab berjihad dengan perang fisik jelas dinyatakan sebagai QITAL.

b.      Hukum Jihad Fi Sabilillah
Sebagian besar ulama jumhur menyatakan bahwa hukum Jihad fi sabilillah secara umum adalah Fardhu Kifayah, jika sebagian umat telah melaksanakannya dengan baik dan sempurna maka sebagian yang lain terbebas dari kewajiban tersebut. Allah SWT berfirman :

Artinya : “Tidak sepatutnya bagi oarng-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberap orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (QS at-Taubah 122).
            Hukum jihad yang bermula dari fardu kifayah dapat menjadi berubah hukumnya, ketika situasi dan tempat berjihadnya juga berubah. Hal ini terlihat dari Firman Allah yang berbunyi :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali bebelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS al-Anfal 15-16).
            Ayat tersebut menggambarkan bahwa setiap Muslim yang telah mukallaf dan sudah memasuki wilayah medan perang, maka baginya fardhu ‘ain berjihad dan dia tidak boleh lari.
            Demikian pula apabila musuh telah datang ke wilayahnya, maka jihad menjadi fardhu ‘ain bagi seluruh penduduk di daerah atau wilayah tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam firman Alllah yang berbunyi :



Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS at-Taubah 123).
            Bahkan Imam Santoso, LC (http://www.dakwatuna.com/2008/jihad-jalan-kami/), menyatakan bahwa jika pemimpin memerintahkan kaum Muslimin yang mukallaf untuk berperang, maka baginya merupakan fardhu ‘ain untuk berperang. Dia bersandarkan pada hadits Rasulullah SAW yang artinya : “Tidak ada hijrah setelah futuh (pembukaan) Mekkah, tetapi yang ada adalah jihad dan niat. Dan jika kamu diperintahkan untuk keluar berjihad maka keluarlah (berjihad).” (HR.Bukhari).

c.                   Jihad dan Terorisme
Pada akhir-akhir ini kata jihad sering dikategorikan dan dibiaskan oleh orang-orang yang berbuat teror dengan mengatasnamakan jihad fi sabilillah. Melihat pengertian dan merujuk pada ayat-ayat Al Qur’an maupun Hadits, maka perjuangan jihad adalah berbeda dengan terorisme. Ajaran teror tidak dapat dikategorikan sebagai jihad. Sebab jihad dalam bentuk perang harus jelas pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam peperangan, seperti halnya perang yang dilakukan Nabi Muhammad yang mewakili Madinah melawan Makkah dan sekutu-sekutunya. Alasan perang tersebut terutama dipicu oleh kezaliman kaum Quraisy yang melanggar hak hidup kaum Muslimin yang berada di Makkah (termasuk perampasan harta kekayaan kaum Muslimin serta pengusiran).
Artinya : “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau”. (QS 4:75)
            Perang yang mengatasnamakan penegakan Islam namun tidak mengikuti Sunnah Rasul tidak dapat disebut Jihad. Sunnah Rasul untuk penegakkan Islam bermula dari dakwah tanpa kekerasan, hijrah ke wilayah yang aman dan menerima dakwah Rasul, kemudian mengaktualisasikan suatu masyarakat Islami (Ummah) yang bertujuan menegakkan Kekuasaan Allah di muka bumi.
            Kemudian fenomena teror melalui bunuh diri sudah tergambar dalam sebuah ayat di dalam Al-Qur’an dan hadist. Firman Allah dalam surah An-Nisa, ayat 29 :
“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (QS.An–Nisaa’: 29)
           kemudian dalam hadist shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, nabi Muhammad bersabda, “Baramgsiapa yang bunuh diri dengan menggunakan suatu alat/cara di dunia, maka dia akan disiksa dengan cara itu pada hari kiamat.” (HR.Bukhari) dan Muslim).
           Dengan demikian,bunuh diri dengan alasan apapun dilarang oleh ajaran Islam. Kejahatan yang ada di hadapan kita, kekufuran yang merajalela di sekeliling kita, kemunafikan yang mengelilingi kita dan perilaku kebiadaban yang mengantam kita. Dalam menanggulangi persoalan-persoalan ini ajaran Islam melarang untuk bersikap dan bertindak putus asa. Hidayah (pertunjuk) itu hak mutlak Allah. Manusia hanya ditugasi untuk menyampaikan, bukan untuk memaksanya. Manusia diberi amanah untuk berdakwah, bukan mendoktrinnya. Apabila sudah dilakukan penyampaian atau dakwah, namun mereka tetap saja tidak mau menerimanya, itu bukanlah tugas kita. Oleh karena itu jangan sekali-kali kita melakukan BOM bunuh diri, meski dalam rangka membasmi kejahatan dan kekafiran tersebut.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar