MAKALAH
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN TOLERANSI
DALAM ISLAM
DISUSUN OLEH :
1.
Adi
Kurniawan (J1D017049)
2.
Nisfa
Tiara Joana (J1D017026)
3.
Sarah
Oktaviani Parura (J1D017005)
4.
Frepti
Anggraeni S. (J!D017012)
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2017
BAB I
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Toleransi dan kerukunan antar umat beragama merupakan salah satu
faktor penting mengenai kelangsungan kehidupan yang damai tanpa ada
perselisihan. Walaupun kita semua tahu, untuk menjaga kedamaian di tengah
masyarakat bukanlah perkara yang mudah sehingga diperlukan peran yang nyata
dari seluruh kalangan masyarakat terutama bagi umat islam. Apalagi kini umat
islam di dunia sedang mendapat ujian berupa julukan teroris di beberapa negara
di barat contohnya di Amerika. Megapa hal tersebut bisa terjadi ? Kurangnya
toleransi antar umat beragama di Amerika merupakan faktor utamanya yang
menganggap seluruh umat islam adalah seorang teroris.
1.2 Rumusan
Masalah
a.
Apakah
hakikat toleransi dan kerukunan ?
b.
Apakah
yang dimaksud dengan tri kerukunan beragama?
c.
Bagaimana
cara menumbuhkan sikap toleransi ?
d.
Apa
yang akan terjadi apabila tidak ada toleransi dan kerukunan ?
1.3 Tujuan
a. Mengetahui apakah hakikat toleransi dan kerukunan sebenarnya.
b. Agar tercipta kedamaian di dalam masyarakat.
c. Menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya toleransi dan kerukunan.
d. Mengetahui sejak dini akan bahaya apabila kita tidak memiliki
sikap toleransi dan kerukunan.
1.4 Manfaat
Penulisan
Menambah wawasan tentang seberapa pentingnya kerukunan dan
toleransi ditengah masyarakat agar tercipta keharmonisan dan kedamaian yang
kuat di masyarakat mengingat bangsa Indonesia adalah masyarakat multikultural
yang memiliki banyak budaya dan agama yang berbeda-beda.
BAB II
2. PEMBAHASAN
2.1 Apakah hakikat toleransi dan kerukunan ?
Keberagaman yang ada di Republik Indonesia merupakan Karunia Alloh
SWT dan merupakan kenikmatan yang tak ternilai harganya. Keanekaragaman suku
bangsa, budaya, bahsa daerah, agama/kepercayaan merupakan keunikan yang
terdapat di Indonesia. Dan pada dasarnya seluruh warga Indonesia tidak
mempermasalahkan perbedaan tersebut. Dan hal inilah yang mendorong kita harus mengembangkan sikap
toleransi dan kerukunan antar sesama umat muslim maupun antar umat beragama.
Toleransi secara bahasa berarti sikap atau sifat dua kelompok atau
lebih yang berbeda kebudayaan tetapi saling berhubungan dengan penuh.Sedangkan
rukun secara bahasa berarti baik dan damai. Rukun dan toleransi merupakan dua
hal yang saling berhubungan. Untuk menciptakan suatu kerukunan di dalam
masyarakat dibutuhkan toleransi yang tinggi karena masalah agama merupakan
masalah yang sangat sensitif bagi warga masyarakat Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajemukan yang ada di Indonesia
merupakan masalah yang rawan dan sering memicu terjadinya konflik antar
kelompok masyarakat yang salah satu penyebabnya adalah masalah agama. Oleh
karna itu, pada era tahun 1970-an, pemerintah mencanangkan adanya Tri Kerukunan
Umat Beragama. Adapun isi dari Tri Kerukunan Umat Beragama adalah sebagai
berikut:
1. Kerukunan
Antara Umat Beragama dengan Pemertintah
Seperti
yang telah difirmankan Alloh SWT pada QS. An-Nisa (4) : 59
Yang
artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rosul
(Nya) ulil amri di antara kamu......”
Dari Firman Allah diatas dapat ditarik suatu
kesimpulan, bahwa selain kita diperintahhkan untuk taat terhadap Allah SWT. Dan
Rosul-Nya, kita juga harus taaat terhadap ulil amri (pemerintah)selama
langkah-langkah, program, kebijakan dan sistem pemerintahhan yang diberlakukan
tidak bertentangan dengan ajaran agama islam. Apabila ulil Amri tersebut
bertentangan dengan ajaran agama islam maka kita dilarang untuk taat apalagi
mendukungnya.
Demikian pula dengan pemerintah. Pemerintah sudah
seharusnya memberikan dukungan baik moril maupun materiil terhadap kehidupan
dan perkembangan kegiatan di bidang keagamaan sehoingga ada hubungan timbal
balik yang harmonis antara umat islam dan pemerintah.
2.
Kerukunan intern
umat seagama
Idealnya intern umat yang seagama memang harus rukun
namun fakta yang terjadi di masyarakat jutru ada saja hal yang menjadi kendala
terwujudnya kerukunan yang dilandasi jiwa ukhuwah (persaudaraan). Sebenarnya
perbedaan pemahaan dan pengamalan adalahh suatu hal yang wajar dan manusiawi,
yang penting perbedaan-perbedaan tersebut jangan sampai mengarah kerusaknya
“ukhuwah islamiyah”. Allah swt. Alloh SWT memberikan petunjuk kepada hambanya :
a. Berpegang
teguh pada agama Allah (Islam)
Firman Alloh swt. QS.Ali Imron (3): 103.
Artinya : “Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai.......”
Begitu juga dalam
hadits Rasululloh SAW bersabda yang artinya :
“Perumpamaan
orang-orang mukmin dalam saling mencintai, saling berbelas kasih dan saling
kasih dan saling tenggang rasa, mereka itu laksana satu tubuh, apabila salah
satu anggotanya terasa sakit, maka seluruh anggota badannya ikut merasakan
tidak dapat tidur dan merasakan demam panas”
HR.Bukhori
b. Allah
menciptakan manusia berbeda-beda
Artinya : Hai manusia,
sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan mejadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui lagi maha mengenal (Al Hujurat : 13)
c. Manusia
sebagai umat yang satu
Artinya : Dan kalau
Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat (saja), tetai Dia
memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan
orang-orang yang dzalim tidak ada bagi mereka seorang peindung pun dan tidak
pula seorang penolong (QS.As Syura : 8)
d. Dahulu
manusia sebagai umat yang satu
Artinya : Manusia
dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena
suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi
keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu (Yunus :
19)
e.
Allah
memberi jalan keselamatan
Artinya
: “Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya
ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan
orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan
seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus” (Q.S. Al Maidah : 16 )
f. Mengikuti
jalan yang benar
Artinya
: ...dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah dia (jalan Allah); dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang
lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.(Q.S Al An’am :
153)
g. Mengikuti
agama Fitrah
Artinya
: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui (Q.S.Ar Rum: 30)
h.
Dilarang
memecah belah umat
Firman Allah Q.S Al An’am : 159
Artinya
: Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah)
menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap
mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian
Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.
Berpedoman pada landasan ayat ayat
tersebut, maka kerukunan internal umat islam sebenarnya telah ditekankan oleh
Allah SWT. Namun karena ego, interest pribadi maupun golongan, maka yang
terjadi di kalangan umat islam adalah terlalu sering muncul gesekan,
ketegangan, bahkan konflik fisik antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini
sering pula ditambah dan dipengaruhi oleh ambisi interest jabatan dan atau
politik tertentu.
3. Kerukunan antar umat yang
berbeda agama
Bangsa Indonesia yang kondisinya
sedemikian heterogen (majemuk) memang rawan terjadinya ketegangan, benturan
maupun perselisihan antar kelompok yang berbeda termasuk perbedaan agama.
Namun, tentu saja orang yang berakal sehat tidak menginginkan hal itu terjadi.
Semua pemeluk suatu agama yang
memiliki jiwa “misionis” (jiwa pejuang untuk berdakwah) pasti ingin agamanya
bisa diterima dan dianut oleh warga masyarakat sebanyak-banyaknya. Seruan,
ajakan atau berda’wah di dalam ajaran agama Islam merupakan hal yang bermakna
ibadah karena memang diperintahkan, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS.Ali
Imron (3) : 104.
Terjemahannya
: “Dan hendaklah ada diantara kamu, satu golongan yang mengajak (manusia) kepada
kebajikan, dan menyuruh (mereka berbuat) kebaikan, dan melarang (mereka) dari
kejahatan. Dan mereka itu, ialah orang-orang yang mendapat kejayaan”.
Maka dari itu, untuk mecegah
terjadinya ketegangan, benturan ataupun hal-hal yang tidak diharapkan dan untuk
mendukung terwujudnya kerukunan antar umat yang berbeda agama, pemerintah
mengatur dengan adanya “Pedoman Penyiaran Agama di Indonesia” antara lain :
a. Keputusan
Musyawarah Paripurna Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 15 Februari 1976,
tentang “Konsultasi Antar Umat Beragama”.
1) Tidak
boleh menyebarkan agama kepada mereka yang sudah beragama lain.
2) Menyambut
baik (anjuran presiden) diadakannya konsultasi antar umat beragama.
b. Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia nomor 70/1978, tanggal 1 Agustus 1978, tentang
Pedoman Penyiaran Agama.
1) Tidak
dibenarkan ditujukan kepada orang beragama lain.
2) Tidak
dibenarkan dilakukan dengan mempergunakan alat pemikat (materi/finansial).
3) Tidak
dibenarkan dilakukan dengan menyebarkan pamflet, bulletin, majalah/buku di daerah/rumah
umat/orang yang beragama lain.
4) Tidak
dibenarkan dilakukan dengan keluar-masuk dari rumah orang yang telah memeluk
agama lain.
c. Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia nomor 77/1978, tanggal 15 Agustus 1978,
tentang : Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
1) Bantuan
luar neger harus mendapatkan rekomendasi Menteri Agama Republik Indonesia.
2) Tenaga
asing harus mendapat izin dari Menteri Agama Republik Indonesia.
d. Keputusan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia nomor
01/BER/MDN-MAG/1969, tanggal 13 September 1969, tentang : Pelaksanaan tugas
aparatur pemerintah dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan
pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluk-pemeluknya.
1) Kepala
daerah membimbing dan mengawasi penyebaran agama dan ibadah, agar :
a) Tidak
menimbulkan perpecahan.
b) Tidak
disertai intimidasi, bujukan, paksaan/ancaman.
c) Tidak
melanggar hukum, keamanan dan ketertiban umum.
2) Kepala
Perwakilan Departemen Agama memberikan bimbingan, pengarahan dan pengawasan,
agar peneranagan agama yang diberikan oleh siapapun tidak bersifat
menyerang/menjelekkan agama lain.
3) Pendirian
rumah ibadah perlu mendapatkan izin dari Kepala Daerah/Pejabat Pemerintahan
yang dikuasakan untuk itu.
4) Pemberian
izin setelah mempertimbangkan :
a) Pendapat
Kepala Kantor Wilayah/Perwakilan Departemen Agama setempat.
b) Planologi/Tata
kota.
c) Situasi
dan kondisi setempat.
5) Apabila
dianggap perlu, Kepala Daerah meminta pendapat dari organisasi keagamaan dan
ulama/rohaniwan setempat.
e. Keputusan
Pertemuan Lengkap “Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama”, tanggal 25 Agustus
1981 di Jakarta, tentang Pelaksanaan Peringatan Hari-hari Besar Kegamaan.
Dihadiri : Wakil/Penghubung Majelis
Agama, yaitu :
1) Majelis
Ulama Indonesia (MUI)
2) Dewan
Gereja-gereja di Indonesia (DGI)
3) Majelis
Agung Waligereja Indonesia (MAWI)
4) Parisada
Hindu Dharma Pusat (PHDP)
5) Perwalian
Umat Budha Indonesia (WALUBI)
Bersepakat
menyampaikan saran/rekomendasi kepada Pemerintah dalam hal ini Menteri Agama,
sebagai berikut :
1) Peringatan
Hari-hari Besar Keagamaan merupakan sarana peningkatan penghayatan dan
pengamalan agama dan sarana dalam pembangunan kerukunan hidup antar umat
beragama.
2) Adalah
wajar bila pemeluk agama lain turut menghormati (sesuai dengan azas
kekeluargaan/bertetangga baik) sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran
agamanya.
3) Para
pejabat pemerintah hendaknya memberikan perhatian yang wajar dan adil dalam
melayani hajat keagamaan bagi semua pemeluk agama dalam wilayah kewenangannya.
Kehadirannya dalam upacara keagamaan dari suatu agama yang tidak dipeluknya,
hendaklah dalam sikap pasif namun hikmat.
4) Pimpinan
lembaga kemasyarakatan perlu dihimbau untuk bijaksana, sehingga tidak
menimbulkan adanya kesan paksaan atau layangan dan pembaruan aqidah dan syariat
(ajaran dan aturan) agama yang berbeda-beda.
f. Surat
Edaran Menteri Agama Republik Indonesia Nomor MA/432/1981, tanggal 2 September
1981, tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari-hari Besar Keagamaan, antara lain
:
Peringatan
Hari-hari Besar Keagamaan pada dasarnya hanya diselenggarakan dan dihadiri oleh
para pemeluk agama yang bersangkutan, namum sepanjang tidak bertentangan dengan
aqidah/ajaran agamanya, pemeluk agama lain dapat turut menghormati sesuai
dengan azas kekeluargaan bertetangga yang baik.
1) Unsur
peribadatan ialah :
-
“Ibadah” bagi
Islam.
-
“Kebangkitan/liturgia”
bagi Kristen/Katholik.
-
“Yadnya” bagi
Hindu.
-
“Kebangkitan”
bagi Budha.
Yang dalam
peringatan/perayaan tersebut merupakan bentuk ajaran agama, yang sepenuhnya
menjadi kewenangan pimpinan/pemuka agama yang bersangkutan untuk mengaturnya
sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing.
2) Unsur
perayaan yang di dalamnya tidak ada unsur ibadah (seperti yang dimaksudkan di
atas) dapat dihadiri dan diikuti oleh pemeluk agama lain.
3) Peribadatan
ialah :
-
“Ibadah” bagi
Islam.
-
“Kebangkitan/liturgia”
bagi Kristen/Katholik.
Prinsip
ajaran Islam di dalam menjaga kerukunan dengan umat agama lain adalah “tasamuh”
(lapang dada) dan berpedoman pada QS. Al-Kafirun terutama ayat : 6.
Artinya :
“Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku”. (Q.S. Al-Kafirun : 6)
4.
Masalah Jihad
a.
Makna
Jihad
Kata jihad berasal dari bahasa
Arab, yakni : jahada-yajhadu-jihadan. Kata jihad secara bahasa berarti
“Berusaha dengan sungguh-sungguh”. Demikian menurut AL Munawwir (1984:234).
Dalam konteks Islam Jihad berarti “Berjuang menegakkan syari’at Islam”. Dalam
berjuang seseorang dapat melakukannya dengan mengendalikan hal-hal yang
dilarang Allah SWT, dan atau berjuang untuk menjalankan segala perintah-Nya
dengan sekuat tenaga.
Kecuali
pengertian di atas, jihad juga sering diartikan sebagai Perang Suci, sementara
dalam Islam sendiri dilarang untuk
memulai suatu peperangan, kecuali bila sudah tidak dapat dielakkan, atau memang
bisa dipertanggung jawabkan secara agama (seperti : untuk membela diri, atau
karena diserang terlebih dahulu). “Perang
Suci” bila diterjemahkan dalam bahasa Arab adalah : “harbun muqaddasatu” (atau “al-harbu
al-muqaddasatu”). Tidak ada dalam Al-Qur’an atau kumpulan Hadits (asli)
yang mengartikan kata “jihad” sebagai “Perang Suci”, melainkan “perjuangan”
atau “berusaha keras”. Oleh karena itu sangat disayangkan, bahwa banyak penulis
Islam yang terpengaruh atas propaganda penterjemah barat yang mengartikan jihad
sebagai “Perang Suci”. Bisa saja dalam literatur Barat mereka salah mengartikan
jihad sebagai suatu bentuk seacam “Perang Salib” dalam sejarah Nasrani. Dengan
demikian jihad bukan ber-konotasi “Perang”. Sebab perang dalam bahasa Arab
adalah : “HARB” atau “QITAL”.
Bagi
Muslim jihad berarti “perjuangan” atau “berusaha dengan keras”. Kemudian kata
tersebut ditransformasi sebagai kata yang mempunyai makna atau arti khusus,
yaitu : “membela agama”. Hal ini seperti yang dituturkam Al Qur’an sebagai
berikut :
Artinya : “Maka berperanglah (qatil) kamu pada jalan Allah, tidaklah
kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat
para mu’min (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan
amat keras siksaaan(Nya)” (Q.S. An Nisa : 84)
Kemudian dalam ayat yang lain disebutkan
:
Artinya : “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangimu
karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain)
untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka
itulah orang-orang yang zalim” (Q.S. Al Mumtahanah: 9).
Dengan
demikian jelas, bahwa “jihad” merupakan kata kerja “berjuang”. Hal ini
tergantung dari arah atau sifat “perjuangan”-nya, yaitu : “di-jalan-Nya”, jalan
kebenaran membela ajaran Allah”. Sebab bisa saja “ber-jihad” membela negara.
Seandainya “jihad” berarti “Perang Suci”, maka kiranya cukup disebutkan
“ber-jihad”, tanpa “di jalan-Nya”.
Dalam
perjalanan sejarah perjuangan Islam makna “Jihad” adalah “berjuang” atau
“ber-usaha dengan keras”, namun tidak
harus berarti “perang dalam makna “fisik”.
Kalau sekarang jihad telah sering diartikan sebagai “perjuangan untuk agama”,
memang bisa saja dibenarkan, walaupun tidak harus berarti perjuangan fisik.
Bila mengartikan Jihad hanya sebagai
peperangan fisik, dan extern, untuk membela agama bisa sangat berbahaya, sebab
akan mudah dimanfaatkan, dan rentan terhadap fitnah. Sebab berjihad dengan
perang fisik jelas dinyatakan sebagai QITAL.
b.
Hukum
Jihad Fi Sabilillah
Sebagian besar
ulama jumhur menyatakan bahwa hukum Jihad fi sabilillah secara umum adalah
Fardhu Kifayah, jika sebagian umat telah melaksanakannya dengan baik dan
sempurna maka sebagian yang lain terbebas dari kewajiban tersebut. Allah SWT
berfirman :
Artinya
: “Tidak sepatutnya bagi oarng-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberap
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya” (QS at-Taubah 122).
Hukum
jihad yang bermula dari fardu kifayah dapat menjadi berubah hukumnya, ketika
situasi dan tempat berjihadnya juga berubah. Hal ini terlihat dari Firman Allah
yang berbunyi :
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang
menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang
membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali bebelok untuk (siasat)
perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka
sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan
tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS
al-Anfal 15-16).
Ayat
tersebut menggambarkan bahwa setiap Muslim yang telah mukallaf dan sudah
memasuki wilayah medan perang, maka baginya fardhu ‘ain berjihad dan dia tidak boleh lari.
Demikian pula apabila musuh telah
datang ke wilayahnya, maka jihad menjadi fardhu ‘ain bagi seluruh penduduk di
daerah atau wilayah tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam firman
Alllah yang berbunyi :
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah
mereka menemui kekerasasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.” (QS at-Taubah 123).
Bahkan
Imam Santoso, LC (http://www.dakwatuna.com/2008/jihad-jalan-kami/),
menyatakan bahwa jika pemimpin memerintahkan kaum Muslimin yang mukallaf untuk
berperang, maka baginya merupakan fardhu ‘ain untuk berperang. Dia bersandarkan
pada hadits Rasulullah SAW yang artinya : “Tidak ada hijrah setelah futuh
(pembukaan) Mekkah, tetapi yang ada adalah jihad dan niat. Dan jika kamu
diperintahkan untuk keluar berjihad maka keluarlah (berjihad).” (HR.Bukhari).
c.
Jihad
dan Terorisme
Pada akhir-akhir ini kata jihad
sering dikategorikan dan dibiaskan oleh orang-orang yang berbuat teror dengan
mengatasnamakan jihad fi sabilillah.
Melihat pengertian dan merujuk pada ayat-ayat Al Qur’an maupun Hadits, maka
perjuangan jihad adalah berbeda dengan terorisme. Ajaran teror tidak dapat
dikategorikan sebagai jihad. Sebab jihad dalam bentuk perang harus jelas
pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam peperangan, seperti halnya perang
yang dilakukan Nabi Muhammad yang mewakili Madinah melawan Makkah dan
sekutu-sekutunya. Alasan perang tersebut terutama dipicu oleh kezaliman kaum
Quraisy yang melanggar hak hidup kaum Muslimin yang berada di Makkah (termasuk
perampasan harta kekayaan kaum Muslimin serta pengusiran).
Artinya
: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang
yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa:
“Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim
penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami
penolong dari sisi Engkau”. (QS 4:75)
Perang yang mengatasnamakan
penegakan Islam namun tidak mengikuti Sunnah Rasul tidak dapat disebut Jihad.
Sunnah Rasul untuk penegakkan Islam bermula dari dakwah tanpa kekerasan, hijrah
ke wilayah yang aman dan menerima dakwah Rasul, kemudian mengaktualisasikan
suatu masyarakat Islami (Ummah) yang bertujuan menegakkan Kekuasaan Allah di
muka bumi.
Kemudian fenomena teror melalui
bunuh diri sudah tergambar dalam sebuah ayat di dalam Al-Qur’an dan hadist.
Firman Allah dalam surah An-Nisa, ayat 29 :
“Dan
janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha menyayangi
kalian.” (QS.An–Nisaa’: 29)
kemudian
dalam hadist shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, nabi
Muhammad bersabda, “Baramgsiapa yang bunuh diri dengan menggunakan suatu
alat/cara di dunia, maka dia akan disiksa dengan cara itu pada hari kiamat.”
(HR.Bukhari) dan Muslim).
Dengan
demikian,bunuh diri dengan alasan apapun dilarang oleh ajaran Islam. Kejahatan
yang ada di hadapan kita, kekufuran yang merajalela di sekeliling kita,
kemunafikan yang mengelilingi kita dan perilaku kebiadaban yang mengantam kita.
Dalam menanggulangi persoalan-persoalan ini ajaran Islam melarang untuk
bersikap dan bertindak putus asa. Hidayah (pertunjuk) itu hak mutlak Allah.
Manusia hanya ditugasi untuk menyampaikan, bukan untuk memaksanya. Manusia
diberi amanah untuk berdakwah, bukan mendoktrinnya. Apabila sudah dilakukan
penyampaian atau dakwah, namun mereka tetap saja tidak mau menerimanya, itu
bukanlah tugas kita. Oleh karena itu jangan sekali-kali kita melakukan BOM
bunuh diri, meski dalam rangka membasmi kejahatan dan kekafiran tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar