A.
Latar Belakang
Kabupaten Banyumas berdiri pada tahun 1582 pada tanggal 6 April atau
bertepatan pada tanggal 12 Robuil Awal 990 Hijriah. Kemudian ditetapkan dengan
Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Daerah Tingkat II Banyumas Nomor 2 Tahun
1990. Keberadaan sejarah Kabupaten Banyumas, dengan pendirinya yang pertama
yaitu Raden Joko Kahiman yang kemudian menjadi Bupati yang pertama, dekinal
dengan Adipati Mrapat. Dari sejarahnya Adipati Mrapat merupakan “satria” yang
sangat luhur untuk bisa diteladani oleh segenap warga Kabupaten Banyumas
khususnya mencerminkan :
1)
Sifat altuistis, yaitu tidak mementingkan diri sendiri.
2)
Pejuang pembangunan yang tangguh, tanggap dan tanggon.
3)
Pembangkit jiwa persatuan dan kesatuan.
Dengan demikian motto dan etos kerja untuk Kabupaten
Banyumas adalah “Satria”. (banyumaskab.go.id)
Kebudayaan merupakan salah satu
identitas suatu bangsa (Maunati, 2004: 24). Mengingat posisi budaya yang sangat
krusial, diperlukan adanya upaya untuk menjaga kelestarian budaya lokal dalam
rangka menjaga warisan leluhur sekaligus menjaga image bangsa di mata bangsa
lain.
Banyumas
memiliki daya tarik berupa potensi alam berupa keindahan lanskap, kekayaan
ragam kuliner, kesenian, dan kerajinan yang khas, sehingga menjadi daerah
potensial untuk berinvestasi. Dengan iklim yang dominan berhawa sejuk
menjadikan Banyumas daerah yang kondusif untuk proses belajar. Pembangunan di
Kabupaten Banyumas dalam sepuluh tahun terakhir dapat dikatakan sangat pesat
dan bahkan digadang-gadang sebagai kota terbesar ketiga di Jawa Tengah, setelah
Semarang dan Surakarta. Hal ini dapat dicermati dari pembangunan infrastruktur
yang semakin memadai dan investasi yang senantiasa menunjukkan tren kenaikan
dari tahun ke tahun. Daya tarik lain dari Kabupaten Banyumas adalah keberadaan
Bahasa Ngapak yang merupakan bahasa khas yang memiliki gaya atau langgam yang
berbeda dibandingkan dengan Bahasa Jawa baku seperti yang luas dikenal. Budaya
ngapak tersebut terpengaruh orang tokoh pewayangan Bawor. Tokoh ini merupakan
tokoh punakawan , seperti halnya Semar, Togog, Gareng, dan Petruk. Bedanya,
tokoh Bawor hanya ada di Banyumas, yang kemudian dianggap sebagai representasi
masyarakat Banyumas. Dalam praktik-praktik dan identifikasi dari tokoh Bawor di
Banyumas ini memiliki nilai-nilai luhur yang Islami, yang dapat
diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat Banyumas. Tulisan ini hendak membahas
tentang beberapa hal, di antaranya simbol tokoh Bawor mewujud pada masyarakat
Banyumas dan keselarasan pandang tokoh Bawor dengan nilai-nilai Islami. Dua hal
tersebut menjadi menarik perhatian manakala dalam pola kehidupan sekarang mulai
banyak orang kehilangan identitas budaya.
B.
Rumusan masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalahnya, sebagai berikut :
1.
Apa identitas Bawor dan Ikon
Banyumas?
2.
Bagaimana Simbolis Bawor dalam
masyarakat Islam?
3.
Bagaimana Bawor dalam perspektif
Islam?
C.
Tujuan Pembuatan Makalah
Melihat rumusan makalah diatas, maka tujuan
penulisan makalah ini adalah:
1.
Dapat mengetahui bagaimana
karakteristik orang Banyumas.
2.
Dapat mengetahui identitas Bawor
dan ikon Banyumas.
3.
Mengetahui perspektif Islam dari Bawor.
4.
Dapat menembah pengetahuan tetang
kebudayaan Banyumasan.
D. Manfaat Pembuatan Makalah
1.
Manfaat teoris
Secara teoris penulisan ini diharapkan mampu memberikan
sumbangan untuk bidang akademik khususnya bagi mahasiswa dan masyarakat luas
pada umumnya. Karna dalam makalah ini dapat memperikan sisi dalam dari Banyumas
itu sendiri.
2.
Manfaat praktis
Secara praktis penulisan ini diharapkan memberikan konstribusi berguna
untuk menambah pengetahuan tentang identitas dan ikon Bawor dalam masyarakat
Banyumas dan juga dapat mengetahui Bawor dalam perspektif islam.
A.
IDENTITAS BAWOR DAN IKON BANYUMAS
Dalam masyarakat Banyumas, dikenal tokoh Bawor yang
merupakan simbol dari masyarakat Banyumas itu sendiri. Sejarah menyebutkan,
adanya Bawor sebagai simbol dari masyarakat Banyumas karena dipengaruhi proses penyebaran
Islam oleh Sunan Kalijaga. Kreativitas Sunan Kalijaga menggunakan wayang
sebagai media dalam penyebaran agama Islam meninggalkan kesan tersendiri bagi
masyarakat Jawa, terutama masyarakat Banyumas yang pada akhirnya mengaplikasi
salah satu tokoh pewayangan yang “dibawa” Sunan Kalijaga. Pemilihan Bawor
sebagai ikon, merupakan upaya pengenalan identitas masyarakat Banyumas kepada
dunia luar.
Karakter Bawor yang identik dengan masyarakat Banyumas,
merupakan sebuah hasil dari kebudayaan lokal yang tergerus arus badai
globalisasi. Arus globalisasi yang cenderung dimaknai negatif oleh sebagian
besar masyarakat, dapat memberi dampak khusus bagi kebudayaan lokal. Bila
masyarakat dapat menjaga kelestarian dan nilai-nilai kebudayaan lokal yang ada,
maka globalisasi dapat dijadikan moment penting guna memperkuat posisi
kebudayaan lokal tersebut sekaligus sebagai moment guna mempopulerkan
kebudayaan tersebut. Akan tetapi, bila
masyarakat tidak dapat mempertahankan nilai-nilai kebudayan lokal yang ada,
maka bukan tidak mungkin kebudayaan yang ada akan “dilumat” oleh arus
globalisasi yang masuk.
B.
SIMBOLISASI BAWOR DALAM MASYARAKAT BANYUMAS
Dalam masyarakat Banyumas, sosok Bawo rmerupakan
ikon yang dianggap dapat mewakili karakteristik sebagian besar masyarakat
Banyumas pada umumnya. Karakter Bawor yang ceplas-ceplos dan jujur apa adanya, menjadikan
Bawor lebih “punya tempat” di mata masyarakat Banyumas dibanding dengan
tokoh-tokoh pewayangan yang lainnya. Di Banyumas disebutkan bahwasanya orang
yang baik itu adalah orang yang sikapnya seperti macan luwe(macan lapar) (Wawancara
dengan Ahmad Thohari, 1 Mei 2010). Maksud dari ungkapan seperti macan luwe
adalah bahwasanya orang yang baik adalah orang yang terus terang dan tanpa
basa-basi. Orang Banyumas tidak begitu suka dengan pernyataan yang bertele-tele
dan penuh pernak-pernik. Pernyataan tersebut tentunya sangat kontras dengan
karakteristik orang yang baik dalam masyarakat Solo. Opiniyang berkembang di
Solo disebutkan bahwasanya orang yang baik itu adalah orang yang tingkah
lakunya seperti uler kambang. Maksud dari pernyataan tersebut adalah orang yang
baik dalam masyarakat Solo adalah orang yang berliku-liku dalam menyatakan
pendapat dan dipenuhi dengan pernak-pernik untuk memperindah opini tersebut.
Bawor dalam pewayangan digambarkan dengan bentuk
yang gemuk pendek (tambun), mata besar dan lebar, bibir tebal, tangan
menggenggam dan kaki pendek. Setiap penggambaran fisik Bawor tersebut mempunyai
makna yang dapat dijadikan pesan moral bagi mereka yang mau memahaminya. Bila setiap
pesan moral yang terkandung dalam setiap penggambaran Bawor dapat dimaknai dan
dihayati dengan baik, niscaya akan membuat seseorang lebih bijak dalam
menyikapi hidup. Karakter Bawor yang cablaka, glogok sorbila diimplementasikan
dengan arus globalisasi yang ada, mempunyai peran strategis guna menghadapi
arus globalisasi yang begitu pesat. Karakter tersebut senada dengan
karakteristik masyarakat Banyumas yang cenderung cablakadan glogok sor. Bukti
dari hal tersebut dapat dilihat dari bahasa asli Banyumas, yakni Bahasa Jawa
Purwa. Bahasa Jawa Purwa asli Banyumas berbeda dengan bahasa Jawa Mataram (Yogyakarta-Solo).
Perbedaannya terletak dari struktur bahasa itu sendiri. Bila dalam bahasa Jawa
Mataram, dikenal dengan tingkatan bahasa ngoko, krama alus, krama inggil,
tetapi dalam bahasa asli Banyumas tidak ada tingkatantingkatan bahasa seperti
itu. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, bahasa asli Banyumas mulai
terakulturasi dengan bahasa Jawa Mataram. Meskipun Bahasa asli Banyumas telah
tercampur dengan bahasa Jawa Mataram, karakteristik masyarakat Banyumas yang
cablaka tetap melekat erat sampai sekarang Hal tersebut dapat dilihat
bahwasanya di Banyumas, belum ada sejarah yang mencatat adanya kerusuhan
sosial. Hal tersebut dikarenakan sifat masyarakat Banyumas yang cablaka,
sehingga setiap permasalahan selalu disampaikan dengan segera tanpa menyebabkan
dendam berkepanjangan.
C. BAWOR
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Karaktreristik Bawor bila diimplementasikan dalam
kehidupan sekarang ini dapat berjalan dalam arus perubahan zaman. Islam
mengajarkan agar manusia dalam hidup itu bisa lentur, tetapi juga tidak mudah
terpengaruh oleh hal-hal yang buruk. Zaman sekarang menuntut keterbukaan informasi,
dan komunikasi. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk memperkuat posisi budaya
lokal, yakni budaya lokal Banyumas pada khususnya sebagai proses pengglobalan kebudayaan
lokal. Bila masyarakat dapat sukses memanfaatkan arus globalisasi tersebut
dengan mengimplementasikan karakteristik Baworyang cablakadan apa adanya
tersebut juga sejalan dengan nilai-nilai Islam. Jujur selalu ditekankan oleh
Allah agar manusia tidak menyakiti orang lain. Sifat jujur tersebut dimiliki
oleh Bawor, dan ditransformasikan pada masyarakat Banyumas. Karakteristik yang
lain dari Bawor tergambar dalam bentuk mata Bawor. Bentuk mata Bawor yang besar
dan lebar tersebut, mengandung filosofi bahwa Bawor mempunyai sifat yang
waspada, teliti, dan sensitif terhadap permasalahan yang ada di sekitarnya.
Artinya, meskipun Bawor memiliki karakter yang ceplas-ceplos, cablaka, dan
jujur apa adanya, dia tetap memiliki sifat waspada terhadap kemungkinan yang
bakal terjadi, teliti terhadap segala sesuatu yang dihadapinya, serta tanggap
terhadap permasalahan yang ada di sekitar.
Penggambaran Bawor sebagai pribadi yang mempunyai
bibir tebal mempunyai makna bahwa Bawor mempunyai karakter diri yang
ceplas-ceplos, cablaka,dan kritis. Oleh karena itu, dalam masyarakat Banyumas
Bawor dikenal sebagai pribadi yang suka mengkritik dan jujur. Segala sesuatu
yang dilihatnya baik, maka akan dikatakan baik, yang tidak baik akan dikatakan
tidak baik tanpa membeda-bedakan siapa yang dihadapinya. Begitu jujur dan apa adanya
tersebut, ada sebagian masyarakat yang memaknai bahwasanya karakter Bawor adalah
lugu dan bodoh. Padahal, bila dikaji dengan lebih cermat dan seksama, Bawor sebenarnya
tidak bodoh. Hal tersebut dapat dilihat dari posisi Bawor yang merupakan
punakawan atau pamong yang paling sering dimintai pendapat mengenai
permasalahan-permasalahan yang muncul. Punakawan merupakan pengiring atau
pamong yang selalu ikut mendampingi seseorang atau keluarga, sebagai tempat
berbagi suka maupun duka serta dimintai saran-saran jika perlu.
Karakteristik lain dari Bawor disimbolkan dengan
tangan yang mengepal. Simbolisasi tersebut mempunyai makna bahwasanya Bawor mempunyai
sifat yang selektif (teliti), hemat, dan hidup bersahaja. Hal tersebut juga
tercermin pada masyarakat Banyumas. Keluguan, keterusterangan dan ke-cablaka-an
masyarakat Banyumas menunjukkan bahwasanya orang Banyumas adalah orang yang apa
adanya, sederhana dan bersahaja.
Karakteristik berikutnya yakni disimbolkan dengan
kaki yang pendek. Simbolisasi mengandung makna bahwa Bawor mempunyai karakter
yang penyabar, tidak grasa-grusu, dan hati-hati. Sifat Bawor yang hati-hati
tersebut bila diimplementasikan dalam kehidupan nyata pada masa sekarang,
sangat membantu guna mem-filtersetiap produk globalisasi yang masuk. Masyarakat
dituntut cerdas dalam menghadapi globalisasi yang ada dan cerdas dalam memilah
setiap produk globalisasi yang masuk. Sifat hati-hati, sabar, dan tidak gegabah
dapat menuntun kita dalam menentukan produk globalisasi yang akan diaplikasi. Bila
melihat sejarah pewayangan yang ada Indonesia, maka dapat ditemukan keterangan
yang menyebutkan bahwasanya wayang merupakan kebudayaan yang berasal dari
kebudayaan Hindu yang oleh Sunan Giri kemudian digubah dan disesuaikan dengan
tujuan dakwah agama Islam. Wayang kemudian lebih sering digunakan sebagai media
dakwah oleh Sunan Kalijaga, sehingga dalam masyarakat Jawa, masyarakat
cenderung lebih mengidentikkan wayang dengan Sunan Kalijaga dibanding
mengidentikkan wayang dengan Sunan Giri, sang penggubah wayang itu sendiri.
Pemanfaatan wayang sebagai media dakwah oleh Sunan
Kalijaga menuntut adanya penyesuaian karakter penokohan mengingat kondisi
masyarakat yang berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Hal
tersebut yang melandasi adanya perbedaan penamaan terhadap Bawor dan Bagong yang pada hakikatnya adalah
sama. Perbedaan Bawordan Bagong tidak hanya terletak pada namanya saja, tetapi
juga terletak pada kedudukannya dalam struktur keluarga punakawan. Bila dalam
masyarakat Banyumas Bawor lebih dikenal sebagai anak mbarep(sulung), maka dalam masyarakat Yogyakarta-Solo
Bagonglebih dikenal sebagai anak ragil (bungsu). Pembedaan antara Bawor dan
Bagong tersebut bukan berarti tanpa makna, akan tetapi malah memiliki makna
filosofi yang dalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar